Selasa, 09 Juni 2009

Euforia Emosi Negatif


Rasa hangat nafsu "membunuh" itu menjilat-jilat tubuh Sang Bagawan. Sampai hawa panasnya terasa masuk dan melilit dinding-dinding bisu, meski Sang Bagawan tidak berada di sana. Seluruh gairah terasa tersalurkan pada beberapa orang yang sedang duduk bersemadi, seolah hendak menetapkan sesuatu yang maha penting...

(tiba-tiba aku merasa takut...merasa sangat takut. Takut terjilat api itu...takut tidak mampu menemukan kata hati, takut menjadi tuli, karena dentangnya terlalu kuat, takut menjadi bisu, karena suaraku diredam oleh berbagai ilusi....)

Tekukan muka dan senyum lebar yang muncrat dari Sang Bagawan, seakan menyiratkan kemenangan..Kemenangan yang mungkin dia sendiri tidak mengerti maknanya. Kemenangan yang mungkin suatu saat akan berubah menjadi kekalahan, andai dia tidak juga merubah sebaran emosi negatifnya...

Emosi negatif bagaikan air terjun, yang bergolak, berbuih, dan membutuhkan tempat untuk menyarangkannya... Tempayan bejana kadang tidaklah cukup untuk menampungnya...dan rembesannya akan memberi hawa negatif pula bagi rumput di sampingnya. Kenapa kita mencoba merubahnya menjadi tetesan air? Kadang kita menjadi sumir, dalam membedakan. Ini konsistensi, kebenaran, keangkuhan atau hanya sekedar luapan emosi negatif...Butuh hati yang hening, karena itu menciptakan kebeningan...

Ketika aku membuka Anthony de Mello, dan menemunya...semoga menjadikan aku lebih tenang dan bening:


"Orang tidak ingin membuang rasa iri hati, rasa cemas, rasa marah, dan rasa salah karena emosi-emosi negatif itu memberikan kepada mereka sensasi, perasaan sungguh-sungguh hidup," kata Sang Guru.

Dan beginilah ia memberikan ilustrasi.

Seorang tukang pos mengambil jalan pintas melalui rerumputan dengan naik sepedanya. Sampai di tengah, seekor sapi jantan melihatnya dan mengejarnya. Orang yang malang itu hampir saja kena tanduk.

"Nyaris kena, ya?" kata Sang Guru yang menyaksikan peristiwa itu.

"Ya," kata orang tua itu terengah-engah. "selalu begitulah selama ini."

(Berbasa-basi Sejenak, Anthony de Mello, Penerbit Kanisius, Cetakan 1, 1997)

5 komentar:

ellysuryani mengatakan...

Nice posting. Wejangan sarat makna dari sang Begawan.

ernut mengatakan...

rodo bingung...maklum cekak! qiqi

~Srex~ mengatakan...

Pencerahan..ditengah rutinitas yg membekukan otak. Tx u

SinceYen mengatakan...

Anthony de Mello, aku belajar banyak dari tulisannya. Sudah baca keping kebenaran?

Anonim mengatakan...

aku jane rada ra ngerti, tp cerita dari de Mello itu yang menarik. Soale aku sedang sering merasa iri.

Lama ndak ke sini mbak, pripn kabare?